Pergantian auditor dan kantor akuntan publik*

Pergantian auditor secara wajib dengan secara sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Jika pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya, jika pergantian terjadi secara wajib, perhatian utama beralih kepada auditor. 
Ketika klien mengganti auditornya ketika tidak ada aturan yang mengharuskan pergantian dilakukan, yang terjadi adalah salah satu dari dua hal: auditor mengundurkan diri atau auditor dipecat oleh klien. Manapun di antara keduanya yang terjadi, perhatian adalah pada alasan mengapa peristiwa itu terjadi dan ke mana klien tersebut akan berpindah. Jika alasan pergantian tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien akan pindah ke auditor yang dengan mereka klien akan bersepakat. Jadi, fokus perhatian peneliti adalah pada klien.

Sebaliknya, ketika pergantian auditor terjadi karena peraturan yang membatasi tenure, maka perhatian utama beralih kepada auditor pengganti, tidak lagi kepada klien. Berbeda dengan pergantian sukarela yang bisa terjadi karena pertengkaran antara klien dengan auditor, pada pergantian secara wajib yang terjadi adalah pemisahan paksa oleh peraturan. Ketika klien mencari auditor yang baru, maka pada saat itu informasi yang dimiliki oleh klien lebih besar dibandingkan dengan informasi yang dimiliki auditor. Ketidaksimetrisan informasi ini logis karena klien pasti memilih auditor yang kemungkinan besar akan lebih mudah untuk sepakat tentang praktik akuntansi mereka. Sementara itu, auditor bisa jadi tidak memiliki informasi yang lengkap tentang kliennya. Jika kemudian auditor bersedia menerima klien baru, maka hal ini bisa terjadi karena auditor telah memiliki informasi yang cukup tentang klien baru itu atau auditor melakukannya untuk alasan lain, misalnya alasan finansial. Jadi jelas bahwa pada pergantian sukarela, perhatian bukan pada alasan mengapa klien mengganti auditor, melainkan pada alasan mengapa auditor bersedia menerima klien baru.

Pergantian sukarela dan pergantian wajib
Isu pergantian auditor secara sukarela atau secara wajib adalah isu yang belum usai diperdebatkan di kalangan praktisi pengauditan dan sebagian akademisi di satu sisi dan regulator dan sebagian akademisi lain di sisi yang lain. Perdebatan ini sebenarnya berawal dari ide bahwa auditor harus mempertahankan independensi dalam penugasan. Di satu sisi, wajar jika independensi auditor diragukan jika ia memiliki tenure yang makin panjang pada satu klien. Walaupun ia bertugas atas nama pemegang saham, auditor bagaimanapun juga dipilih dan digaji oleh manajemen klien. Ketika hubungan tersebut makin panjang, maka dependensi finansial auditor terhadap klien akan makin besar juga. Semakin tinggi dependensi finansial ini, maka dikhawatirkan independensi auditor akan makin turun. Logika ini yang mendorong regulator untuk melarang auditor memiliki hubungan yang panjang dengan klien. 

Di sisi lain, kalangan praktisi dan sebagian akademisi tidak setuju dengan pendapat tersebut. Fakta bahwa ada masalah dependensi yang serius antara Enron dengan Andersen tidak bisa mengeneralisasi bahwa masalah yang sama terjadi juga di perusahaan yang lain. DeFond dan Francis (2xxx) menyatakan bahwa kegagalan audit sebenarnya mendekati nol. Profesi pengauditan tidak mendukung kebijakan ini karena setiap kali mereka harus mengaudit klien yang baru ada dua biaya yang harus mereka tanggung: biaya untuk mempelajari bisnis klien dan biaya litigasi. Kedua biaya ini bisa berhubungan: jika auditor gagal mempelajari bisnis klien maka ada kemungkinan bahwa klien akan berbuat curang dan auditor tidak bisa menemukan kecurangan tersebut; jika kecurangan tersebut kemudian membawa dampak yang buruk kepada pengguna laporan keuangan, maka auditor harus menanggung biaya litigasi atas opininya tersebut karena laporan keuangan manajemen harus dipandang sebagai pelaporan bersama antara auditor dengan manajemen klien (Kinney, 1xxx). 

Kritik pedas yang disampaikan oleh akademisi terhadap kebijakan regulator ini adalah mengapa harus ada pemaksaan terhadap klien untuk mengganti auditor (dan dalam hal ini termasuk juga kantor akuntan publik) secara reguler. Mereka mempertanyakan mengapa tidak membiarkan perusahaan memiliki keputusan sendiri terkait dengan lama hubungan perusahaan dengan auditor (lihat DeFond dan Francis, 2xxx untuk diskusi yang lebih dalam tentang masalah ini).

Menurut Nagy (2xxx), penjelasan alasan kepindahan klien dari satu auditor dan alasan kesediaan auditor menerima klien baru berhubungan dengan alasan pergantian tersebut. Pada lingkungan yang tidak membatasi pergantian auditor, pergantian terjadi karena beberapa alasan. Klien bisa memecat auditornya karena ketidaksepakatan dengan auditor terkait tentang isu praktik akuntansi tertentu. Oleh karena itu diprediksi klien akan mencari auditor yang akan bersepakat dengan praktik akuntansi yang mereka usulkan. Klien yang memecat auditor akan cenderung mencari jasa audit dari auditor yang berukuran yang lebih kecil karena auditor kecil ini diekspektasi tidak terlalu “menuntut” dibandingkan dengan auditor pendahulu (Bockus dan Gigler, 1xxx). 

Auditor sendiri bisa mengundurkan diri dari penugasan. Bockus dan Gigler (1xxx) menyimpulkan bahwa auditor lebih suka mengundurkan diri jika risiko yang mereka hadapi dari mengaudit satu klien membesar. Risiko tersebut bisa muncul karena, misalnya, ketidaksepakatan atas satu estimat akuntansi. Antle dan Nalebuff (1xxx) dan Dye (1xxx) menyimpulkan bahwa usulan auditor hanya akan diterima klien jika estimat auditor dekat dengan estimat klien. Jika tidak ada kesepakatan tentang estimat yang diperdebatkan, maka auditor akan dipecat atau mengundurkan diri (Dye, 1xxx). 

Sebaliknya, pergantian auditor yang dilakukan secara wajib dilakukan bukan karena alasan ketidaksepakatan praktik seperti pada lingkungan pergantian secara sukarela di atas. Pergantian auditor secara wajib semata-mata dilakukan atas dasar peraturan. Salah satu negara di dunia yang memberlakukan peraturan ini adalah Indonesia. Aturan pergantian wajib ini diberlakukan sejak tahun 2003, menindaklanjuti kasus Enron/Andersen dan pemberlakuan SOX.

Berbeda dengan auditor yang lalu yang mungkin telah memahami aspek bisnis klien, auditor yang baru bisa jadi sama-sekali buta tentang bisnis klien. Mereka mungkin juga sama-sekali tidak mengetahui reputasi klien mereka di masa lalu sehubungan dengan pelaporan keuangan. Faktor ini yang kemudian mendorong auditor untuk bersikap lebih skeptis terhadap klien yang baru. 

Level skeptisisme yang lebih tinggi ini sebenarnya memiliki dua sisi. Sisi pertama, ia akan meningkatkan fee audit karena auditor membutuhkan biaya start-up yang lebih besar karena harus mengaudit satu klien yang baru. Walaupun tidak terlalu berbeda dengan pergantian secara sukarela, di mana auditor bisa berekspektasi bahwa klien tetap akan diaudit lagi pada tahun-tahun setelahnya, pada lingkungan pergantian wajib tidak ada keharusan klien untuk tetap diaudit oleh auditor pengganti. Mereka bisa saja kembali ke auditor yang lama karena kecocokan yang mungkin telah ada sebelum peraturan membatasi hubungan mereka. Karena probabilitas yang lebih kecil untuk bisa mempertahankan klien yang berpindah karena keharusan peraturan ini, maka fee audit tetap menjadi lebih tinggi karena fee audit akan termasuk biaya yang berhubungan dengan pengenalan bisnis klien. Penurunan fee pada awal penugasan (lowballing) seperti yang dijelaskan oleh DeAngelo (1xxx) kemungkinan tidak bisa terjadi karena auditor tidak bisa berekspektasi bahwa perusahaan itu tetap akan menjadi klien mereka di masa depan. Logika ini masuk akal karena pemilihan auditor yang baru dimotivasi oleh peraturan, bukan karena kesesuaian atau peluang untuk sepakat dengan praktik akuntansi klien.

Sisi yang kedua dari level skeptisisme yang tinggi ini berhubungan dengan kehati-hatian klien mengaudit klien yang baru. Jika auditor tidak mengetahui bisnis klien dan reputasi klien di masa lalu, maka ia akan lebih berhati-hati dalam mengaudit klien yang baru. Kehati-hatian ini berkaitan dengan usaha auditor untuk mengurangi biaya litigasi. Penelitian Nagy (2xxx) menunjukkan bahwa auditor yang mengaudit eks-klien Andersen lebih bersikap konservatif dengan memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba. Sikap konservatif ini ditunjukkan dengan nilai akrual diskresioner yang negatif. Artinya, skeptisisme auditor yang tinggi terhadap klien yang baru membuat mereka lebih berhati-hati dan menolak metoda akuntansi yang meragukan dan memandang bahwa eks-klien Andersen adalah sumber risiko bagi auditor (Cahan dan Zhang, 2xxx). Dengan dasar logika seperti ini maka pendukung pergantian auditor secara wajib mengklaim bahwa pergantian secara wajib itu akan meningkatkan kualitas audit.

Perbedaan pergantian auditor di SOX dan Keputusan Menteri Keuangan RI
Rotasi atau pergantian wajib atas kantor akuntan yang memberikan jasa audit kepada klien sebenarnya tidak pernah diatur di AS. Walaupun publik dan pemerintah AS tetap memiliki keinginan untuk mengatur rotasi tersebut. Upaya tersebut tergambar dari pembentukan Metcalf Subcommittee tahun 1978 oleh Senat AS dan Cohen Commission tahun 1978 oleh AICPA. Tahun 1999 Akuntan Kepala SEC mengirim surat kepada American Accounting Association untuk melakukan penelitian sehubungan dengan masalah perputaran wajib tersebut (Dopuch, King, dan Schwartz, 2xxx). Upaya yang paling baru adalah melalui SOX pada tahun 2002. Namun, sebenarnya pemerintah AS akhirnya tidak pernah mengatur rotasi tersebut, bahkan hingga di SOX. Justru yang diatur di dalam SOX hanyalah rotasi partner audit. Di seksi 203 dari SOX dinyatakan bahwa, 


It should be unlawful for a registered public accounting to provide audit services to an issuer if the lead (or coordinating) audit partner, or the audit partner responsible for reviewing the audit, has performed audit services for that issuer in each of the 5 previous years of that issuer.

Dengan demikian, sebuah kantor akuntan publik hanya boleh menugaskan satu orang partner untuk memimpin audit di satu klien yang sama selama lima tahun berturut-turut. Aturan ini juga menyiratkan bahwa perusahaan tidak perlu mengganti kantor akuntan mereka karena alasan peraturan ini. 

Walau demikian, bukan berarti bahwa regulator tidak tertarik lagi dengan ide untuk mewajibkan rotasi. Buktinya, SOX memberi mandat kepada US Comptroller General untuk melaksanakan satu studi dan mengkaji efek potensial dari pewajiban rotasi wajib atas kantor akuntan publik (seksi 207 SOX). Yang dimaksud sebagai rotasi wajib adalah pemberlakuan batasan perioda tahun sebuah kantor akuntan publik boleh mengaudit satu klien yang sama. Laporan General Accounting Office yang diminta oleh Kongres untuk meneliti masalah tersebut menyimpulkan beberapa hal. Pertama, rotasi wajib atas kantor akuntan bukanlah cara yang paling efisien untuk memperkuat independensi auditor dan meningkatkan kualitas audit. Manfaat potensial dari rotasi wajib tersebut sukar untuk diprediksi dan dihitung. Kedua, GAO menyarankan agar pemerintah AS melakukan observasi selama beberapa tahun sebelum efek dari SOX bisa dinilai. Hal yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah adalah mengevaluasi keefektifan aturan-aturan yang ada dalam peningkatan independensi dan kualitas audit. Ketiga, pemerintah harus mendorong peran komite audit untuk menjamin independensi auditor dan untuk tujuan itu, komite audit harus mempertahankan independensi dan memiliki sumberdaya yang memadai.

Simpulan yang bisa penulis tarik adalah, pertama, hingga sekarang AS hanya mewajibkan rotasi atas partner audit setelah ia menjadi pemimpin penugasan selama lima tahun pada satu klien. Kedua, isu tentang rotasi kantor akuntan publik masih isu yang belum selesai. Pemerintah tetap kukuh ingin memberlakukan peraturan tersebut. Perdebatan masih terus berjalan dan ide pemerintah terus ditentang. Pemerintah dituduh ingin mengambil-alih hak profesi untuk mengatur diri sendiri (lihat DeFond dan Francis, 2xxx untuk diskusi mendalam tentang penolakan ini). Ketiga, keraguan pemerintah AS untuk menerapkan aturan perotasian wajib tersebut terkendala dari ketiadaan riset yang bisa digunakan untuk melihat dampak dari rotasi kantor akuntan terhadap kualitas audit. Riset yang dilakukan oleh Nagy (2xxx) terhadap eks-klien Andersen tidak bisa dengan baik menggambarkan dampak dari pergantian auditor wajib tersebut terhadap kualitas audit. Bahkan riset ini tidak bisa dilihat sebagai sebuah upaya yang tepat meneliti tentang masalah perputaran wajib kantor akuntan. Menurut penulis, kepindahan eks-klien Andersen, seperti yang dibahas oleh Nagy tersebut, kepada auditor baru bukan disebabkan oleh peraturan yang membatasi hubungan mereka, namun karena Andersen sudah tiada sementara mereka harus tetap diaudit. Selain itu, Nagy sendiri hanya menemukan bahwa konservatisme auditor terhadap eks-klien Andersen hanya berlaku pada subsampel yang berukuran kecil dengan daya tawar-menawar yang kecil. Jadi jelas bahwa penundaan pemberlakuan kewajiban perotasian kantor akuntan hingga saat ini lebih disebabkan oleh ketiadaan riset yang mendukung undang-undang ini. Oleh karena itu dibutuhkan adalah sebuah riset tentang rotasi wajib kantor akuntan di dalam lingkungan hukum yang mewajibkan perotasian tersebut.

Indonesia adalah salah satu negara yang mewajibkan pergantian kantor akuntan dan partner audit diberlakukan secara periodik. Peraturan tentang pergantian ini sudah muncul pada tahun 2002 dalam bentuk keputusan Menteri Keuangan. Di dalam pasal 6 ayat 4 Keputusan Menteri Keuangan no. 423 tahun 2002 tersebut dikatakan bahwa:
   
Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.

Selanjutnya di pasal 59 ayat 5 dan 6 dinyatakan bahwa


(5) KAP yang telah memberikan jasa audit umum untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya

(6) Akuntan Publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.

Pada tahun 2003, keputusan tahun 2002 diamandemen. Aturan mengenai perputaran kantor akuntan dan akuntan publik menegaskan bahwa audit umum atas laporan keuangan yang masih bisa dilakukan oleh kantor akuntan (akuntan publik) yang telah mencapai batas waktu lima (tiga) tahun berturut-turut adalah sampai dengan tahun buku 2003. Terakhir, pada tahun 2008, Menteri Keuangan kembali menerbitkan peraturan terkait jasa akuntan publik. Perubahan yang dilakukan di antaranya adalah, pertama, pemberian jasa audit umum menjadi enam tahun berturut-turut oleh kantor akuntan dan tiga tahun berturut-turut oleh akuntan publik kepada satu klien yang sama (pasal 3 ayat 1). Kedua, akuntan publik dan kantor akuntan boleh menerima kembali penugasan setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit kepada klien yang di atas (pasal 3 ayat 2 dan 3).


Implikasi dari peraturan-peraturan tersebut ada beberapa terhadap riset di bidang pengauditan. Pertama, peraturan tersebut memberi ruang bagi riset tentang perputaran akuntan dan perputaran akuntan publik secara wajib. Ketiadaan peraturan di AS adalah salah satu penghambat yang diakui oleh para peneliti untuk menentukan apakah perputaran wajib akan bisa meningkatkan kualitas audit. Dopuch et al. (2xxx) menyatakan bahwa perdebatan tentang biaya dan manfaat dari regulasi atas perputaran wajib ini membutuhkan riset yang ekstensif—sesuatu yang belum bisa dilakukan di AS. 

Kedua, karena tahun 2003 adalah tahun terakhir bagi auditor yang telah mengaudit satu klien hingga batas waktu yang ditentukan sebelum berpindah, maka sejak tahun 2004 pergantian auditor telah terjadi. Oleh karena itu, dengan syarat bahwa sampel memang memadai agar sebuah pengujian bisa dilakukan, riset tentang perputaran wajib telah bisa dilakukan. Perputaran auditor yang lebih besar kemungkinan terjadi setelah audit tahun buku 2006 dengan asumsi bahwa masa penugasan awal terjadi di tahun 2002. 

Ketiga, peraturan menteri di tahun 2008 tersebut membuka peluang klien untuk kembali kepada auditor lama mereka setelah menjalani penyapihan selama satu tahun. Banyak pertanyaan yang timbul dari lubang sehubungan dengan penyapihan satu tahun ini. Di antara mereka adalah: apakah memang benar-benar terjadi pergantian auditor pada satu tahun tersebut? Apakah tidak mungkin bahwa klien hanya dititip kepada auditor lain sebelum kemudian dikembalikan oleh auditor pengganti tersebut pada tahun berikutnya? Pertanyaan yang lebih penting: Apakah tujuan dari perputaran wajib tersebut bisa dicapai dengan aturan tersebut jika klien boleh kembali lagi berhubungan auditornya setelah satu tahun buku? Lebih spesifik lagi, apakah kualitas laporan keuangan klien lebih tinggi jika ia diaudit oleh auditor pengganti? Jika memang lebih tinggi, apakah kualitasnya akan tetap lebih tinggi jika kemudian ia kembali ke auditornya yang lama? Mengapa tidak mengharuskan klien tetap diaudit oleh satu auditor selama masa tertentu sebelum membolehkan perusahaan diaudit oleh kantor akuntan yang lain? Perioda pengauditan yang pendek (satu tahun) justru bisa membuat auditor tidak bisa bersikap independen (Dopuch et al., 2xxx) karena mereka harus menutupi biaya audit sehubungan dengan penugasan yang baru tersebut. Sehingga, lepas dari hasil penelitian Dopuch et al. (2001) tersebut, berapa lama retensi atas auditor seharusnya dilakukan agar independensi auditor tidak rusak? Jika auditor harus diganti setelah enam tahun berturut-turut, mengapa tidak regulator di Indonesia tidak mengharuskan klien untuk mempertahankan auditor selama masa yang mereka yakini independensi akan tetap bisa dipertahankan? Dopuch et al. (2xxx) menemukan bukti bahwa jika kewajiban rotasi dan retensi sama-sama ada, maka auditor akan kehilangan insentif yang besar untuk menerbitkan laporan yang bias. Bias ini jauh lebih besar dibandingkan jika regulator sama sekali tidak mengatur masalah retensi dan/atau rotasi. 

Pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas adalah sebagian dari pertanyaan yang mungkin muncul sehubungan dengan keberadaan peraturan Menteri Keuangan tentang pergantian auditor wajib. Menurut hemat penulis, ketiga peraturan Menteri Keuangan tersebut diterbitkan sebagai respon atas skandal akuntansi yang terjadi di AS. Sehingga, relevan kiranya jika riset tentang pergantian auditor secara wajib yang tidak bisa dilakukan di AS dilakukan dalam suasana Indonesia.


Isu tentang independensi dengan pergantian kantor akuntan publik dan auditor
Jawaban atas pertanyaan apakah independensi auditor akan lebih terjaga ketika hubungan mereka dengan klien dibatasi atau tidak hanya bisa dilakukan jika ada perbandingan perbedaan perilaku auditor pada kedua suasana tersebut. Perilaku auditor diduga tidak akan sama pada aturan rotasi yang berbeda, terutama jika ada aturan rotasi atau tidak ada aturan rotasi. Ketiadaan aturan rotasi akan memberi insentif kepada auditor untuk selama mungkin mempertahankan hubungannya dengan klien, walaupun mungkin tindakan tersebut mencederai independensi mereka. Sehingga adanya aturan rotasi yang membatasi masa tugas auditor akan ketergantungan auditor terhadap klien menjadi terbatas dan kemungkinan pelanggaran independensi akan berkurang. Untuk membuktikan klaim tersebut, dibutuhkan sebuah riset yang meneliti kedua rezim tersebut dalam kondisi yang sebanding. 

Di antara banyak artikel yang mempertanyakan validitas klaim pendukung ide perputaran wajib kantor akuntan, Dopuch et al. (2xxx) adalah satu dari sedikit artikel yang mendukung klaim tersebut. Secara spesifik, mereka menginvestigasi bagaimana regulasi tentang rotasi dan retensi kantor auditor bisa meningkatkan independensi auditor. Mereka melakukan eksperimen dengan empat rezim: rezim tanpa ada aturan rotasi dan retensi sehingga auditor bisa dipecat kapan saja atau diretensi selama disukai; rezim dengan keharusan meretensi auditor setelah tiga perioda melaksanakan tugas tapi tanpa ada keharusan untuk merotasi; rezim dengan keharusan merotasi auditor setelah empat perioda melaksanakan tugas tapi tanpa keharusan meretensi; dan rezim dengan keharusan untuk merotasi setelah empat perioda dan meretensi selama tiga perioda. 

Di dalam eksperimen tersebut, subyek-auditor diminta untuk memberikan opini atas hasil audit mereka terhadap laporan investasi subyek-manajer. Realisasi investasi auditor terbagi menjadi dua: tinggi dan rendah. Opini auditor atas investasi tersebut terbagi menjadi dua juga: memberikan opini yang menguntungkan manajer (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi baik ketika sebaliknya) dan memberikan opini yang apa adanya (yaitu memberikan opini bahwa hasil investasi buruk ketika memang buruk dan memberikan opini bahwa hasil investasi baik ketika memang baik).

Dopuch et al. (2xxx) berekspektasi bahwa auditor akan memberikan opini bahwa hasil investasi memiliki nilai yang lebih tinggi relatif terhadap capaian sesungguhnya pada perioda ketika manajer boleh memecat mereka. Dopuch et al. (2xxx) membandingkan rasio antara sinyal investasi yang buruk namun dilaporkan sebaliknya oleh auditor dengan jumlah sinyal investasi yang buruk di masing-masing dari keempat rezim di atas. Rasio ini adalah frekuensi laporan auditor yang bersifat menguntungkan manajer (favorable) dan dibandingkan kemudian dengan probabilitas posterior yang ditetapkan oleh peneliti.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa frekuensi pelaporan laporan yang menguntungkan manajer paling besar pada rezim ketika aturan tentang rotasi dan retensi tidak ada. Frekuensi yang lebih kecil ditunjukkan, berturut-turut, oleh rezim di mana retensi diwajibkan, rezim di mana rotasi diwajibkan, dan, yang paling kecil, rezim di mana rotasi dan retensi diwajibkan. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa auditor lebih sering memberikan opini bahwa investasi manajer (klien) menguntungkan daripada fakta sebenarnya jika rotasi maupun retensi atas masa tugas auditor tidak diatur; sebaliknya, auditor paling jarang memberikan opini tersebut jika rotasi dan retensi atas masa tugas mereka diatur. 

Pengujian lain ingin membuktikan apakah auditor frekuensi pelaporan auditor sesuai dengan probabilitas posterior yang ditetapkan oleh peneliti. Tujuannya adalah menginvestigasi seberapa bias auditor dalam memberikan pendapatnya. Caranya, subyek-auditor diminta untuk menentukan berapa jumlah persentase investasi yang dilakukan oleh subyek-manajer yang menyatakan bahwa investasi tersebut memiliki outcome yang tinggi ketika sebenarnya outcomenya rendah. Semakin tinggi persentasenya, semakin bias pendapat auditor. Persentase ini kemudian dibandingkan dengan probabilitas bias posterior bias tetapan peneliti. Hasil pengujian menunjukkan bahwa auditor lebih bias pada rezim yang tidak mengharuskan rotasi maupun retensi. Pada rezim yang mengharuskan ada rotasi secara berkala, frekuensinya mendekati nilai probabilitas posterior tetapan. Sedangkan pada rezim yang memiliki aturan rotasi dan retensi secara periodik frekuensi tersebut lebih kecil daripada probabilitas posterior atau auditor lebih konservatif.

Dari hasil pengujian kita bisa menyimpulkan bahwa jika tujuan pembuat kebijakan adalah untuk mengurangi dampak perusakan independensi dari rente (rents) kontinjen, sementara strategi pelaporan yang bebas bias tetap dipertahankan, maka tujuan tersebut bisa dicapai melalui pemberlakuan kewajiban rotasi. Kewajiban perotasian secara sendiri akan menghasilkan bias independensi yang cukup rendah. Bias independensi yang paling rendah adalah jika kewajiban perotasian dan peretensian diberlakukan secara bersamaan. Pada rezim ini auditor paling konservatif terkait dengan opininya. 

Simpulan tentang pergantian kantor akuntan publik dan auditor
Independensi auditor adalah sebuah sikap mental auditor yang diekspektasi oleh pengguna laporan keuangan dimiliki oleh auditor. Sikap mental ini mutlak harus ada pada diri auditor ketika ia menjalankan tugas pengauditan yang mengharuskan ia memberi atestasi atas kewajaran laporan keuangan kliennya. Wajar adanya jika pengguna laporan keuangan, regulator, dan pihak-pihak lain selalu mempertanyakan apakah auditor bisa independen dalam menjalankan tugasnya. Auditor adalah orang atau profesi yang mendapatkan penghasilan dari klien yang mereka audit. Dalam sebagian kasus, persentase penghasilan dari satu klien dibandingkan dengan semua klien mungkin sedemikian signifikan mempengaruhi penghasilan kantor akuntan. Sehingga, kehilangan klien tersebut bisa secara material mempengaruhi pendapatan kantor akuntan. Keraguan tentang independensi ini bertambah berat karena kantor akuntan publik selama ini diberi kebebasan untuk memberikan jasa non-audit kepada klien yang mereka audit. Pemberian jasa non-audit ini menambah besar jumlah dependensi secara finansial kantor akuntan kepada kliennya. 

Jika auditor hanya memberikan jasa kepada klien satu atau beberapa kali, mungkin sumbangan fee yang dibayarkan klien terhadap penghasilan total auditor tidak akan material. Namun, jika pemberian jasa tersebut dilakukan dalam jangka panjang, apalagi jika ukuran perusahaan klien besar, maka tidak mustahil auditor akan kehilangan potensi penghasilan yang cukup signifikan seandainya mereka tidak bisa mempertahankan klien tersebut. Sehingga tidak heran jika sebagian kantor akuntan memiliki hubungan yang panjang dengan klien mereka. Semakin panjang hubungan, semakin banyak penghasilan yang diperoleh dari klien, dan semakin besar probabilitas auditor akan dependen terhadap kliennya.

Kritik terhadap dependensi tersebut tidak bisa dilepaskan pula dari fakta bahwa perbandingan jumlah kantor akuntan publik dengan jumlah perusahaan yang diaudit. Jumlah kantor akuntan selalu lebih kecil daripada jumlah perusahaan yang meminta jasa audit. Kantor akuntan sendiri memiliki perbedaan kualitas antar mereka sehingga perusahaan akan cenderung memilih kantor akuntan yang baik. Selain itu, ada kecenderungan pula bahwa perusahaan hanya akan memilih kantor akuntan yang sepakat dengan pilihan metoda akuntansi tertentu. Simpulannya, hubungan antara klien dengan auditor memang secara alami akan terjadi dan sangat besar kemungkinan akan terjalin dalam jangka panjang.

Penulis berpendirian bahwa rotasi secara wajib ketika auditor telah melakukan audit umum atas laporan keuangan harus dilakukan. Hubungan yang panjang akan memberikan aliran penghasilan kepada kantor akuntan dan secara alami hal ini membuat auditor akan berusaha mempertahankan kliennya, walau dengan risiko bahwa independensinya akan rusak. Klaim bahwa auditor akan lebih independen jika rotasi dilakukan telah dibuktikan oleh Dopuch et al. (2xxx)—yang ternyata tidak pernah diacu oleh penolak ide rotasi wajib tersebut. Independensi akan makin besar jika kantor akuntan juga kepada klien diberi batasan waktu minimal sebelum ia boleh mengganti auditor kembali (lihat Dopuch et al., 2xxx untuk bukti empiris lebih rinci).
Bukti empiris ini bisa digunakan untuk menangkis keluhan kantor akuntan bahwa tahun-tahun pertama audit adalah tahun-tahun yang berisiko dan mahal bagi mereka karena, di antara beberapa, pertama, auditor tidak mengenal bisnis klien; kedua, auditor tidak memiliki informasi tentang reputasi klien di masa lalu; ketiga, biaya pemulaian (start-up) audit mahal karena kantor akuntan harus mendidik lagi auditor mereka untuk penugasan di klien yang baru (lihat, misalnya, Carcello dan Nagy, 2xxx). Sehingga, dengan memberi batas minimum retensi terhadap auditor, masalah seperti di atas akan bisa dikurangi. Di sisi lain, sebenarnya juga tidak ada jaminan bahwa kantor akuntan yang sama akan bisa mempertahankan kualitas audit mereka dalam jangka panjang. Mereka bisa jadi akan menugaskan staf yang kurang berpengalaman karena menganggap bahwa pekerjaan audit di klien tertentu adalah hal rutin atau mereka bisa saja memperlonggar prosedur audit mereka karena menganggap bahwa klien mereka tidak akan berbuat curang.

Jadi wajar saja bahwa ide pergantian auditor secara wajib diajukan dan dipertimbangkan. Sebagian negara di Uni Eropa telah mewajibkan rotasi wajib terhadap kantor akuntan (Dopuch et al., 2xxx). Regulator di AS tidak bisa meyakinkan bahwa ide ini tepat karena tidak ada riset yang menggunakan data aktual. Riset yang mendukung ide ini hanyalah riset yang dilakukan oleh Dopuch et al. (2xxx) dan riset ini tidak pernah dianggap sebagai bukti empiris yang mendukung ide regulator tersebut. Buktinya bisa dilihat di artikel DeFond dan Francis (2xxx) yang walau dengan luas membahas dan menentang hubungan independensi auditor dengan perputaran, namun hanya berisi bukti-bukti penolakan tentang ide regulator tersebut dan mengklaim bahwa tidak ada bukti empiris tentang itu. Oleh karena itu, harus ada riset yang dilakukan di dalam lingkungan hukum yang mewajibkan perputaran kantor akuntan—sesuatu yang tidak bisa dilakukan di AS.




Sleman, May 2009
*Catatan kepada pembaca. Anda bisa memanfaatkan semua bahan di sini untuk tujuan keilmuan, misalnya dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan penelitian di dalam paper ini untuk keperluan penelitian anda. Semua tulisan di paper ini, termasuk artikel-artikel lain di blog ini adalah karya asli dan untuk itu bisa dijadikan acuan secara ilmiah--misalnya dengan cara memberi kredit kepada link ini. Namun, untuk mencegah penjiplakan karya, saya meniadakan keterangan rinci tentang sumber bacaan--itupun hanya dengan menghilangkan tiga digit akhir dari tahun penerbitan artikel sumber. Pembaca yang berminat dengan masalah ini, termasuk membutuhkan semua bahan acuan saya, bisa mengirimkan email melalui formulir komentar di blog ini.

Label: , ,

By Rahmat Febrianto On Minggu, 24 Mei 2009 At 10.16