Pergantian auditor: Wajib atau sukarela?

By Rahmat Febrianto On Kamis, 05 Maret 2009 At 13.11

Akademisi dan profesi berdebat tentang apakah auditor harus diganti setelah beberapa lama memberikan jasa audit kepada satu klien. Kasus Enron/Arthur Andersen diyakini berawal dari panjangnya hubungan antara auditor dengan klien. Sejak Enron berdiri, selama 16 Arthur Andersen telah menjadi auditor bagi Enron. Sepanjang masa itu mereka tidak hanya memberikan jasa audit umum, namun juga memberikan jasa non-audit. Hubungan Enron/Arthur Andersen ini kemudian terbukti membuat Arthur Andersen auditor menjadi tidak independen. Arthur Andersen diyakini membiarkan Enron memilih metoda akuntansi yang ekstrem karena kehilangan independensi mereka--sesuai dengan prediksi teori.


Mautz dan Sharaf (1961) percaya bahwa hubungan yang panjang bisa menyebabkan auditor memiliki kecederungan kehilangan independensinya. Auditor yang memiliki hubungan yang lama dengan klien diyakini akan membawa konsekuensi ketergantungan tinggi atau ikatan ekonomik yang kuat auditor terhadap klien. Semakin tinggi keterikatan auditor secara ekonomik dengan klien, makin tinggi kemungkinan auditor membiarkan klien untuk memilih metoda akuntansi yang ekstrem. Kekhawatiran ini memiliki bukti yang kuat yaitu Enron


Di lain sisi, ada yang berargumen sebaliknya. Ketika auditor pertama kali diminta mengaudit satu klien, yang pertama kali harus mereka lakukan adalah memahami lingkungan bisnis klien dan risiko audit klien. Bagi auditor yang sama-sekali buta dengan kedua masalah itu, maka biaya start-up menjadi tinggi sehingga bisa menaikkan fee audit. Kedua, penugasan yang pertama terbukti memiliki kemungkinan kekeliruan yang tinggi. Litigasi terhadap auditor umumnya terjadi pada tiga tahun pertama tugas pengauditan dan menunjukkan tren penurunan setelah masa penugasan bertambah. Risiko litigasi terhadap auditor 5(4) besar lebih tinggi dibandingkan dengan risiko pada KAP kecil karena, salah satunya, "kantong tebal" KAP besar tersebut. Oleh karena itu, PWC (2002) menentang sama-sekali pertukaran auditor secara wajib yang sedang diusahakan oleh legislator di AS melalui SOX saat itu. Mereka, dan pendukung yang lain, berpendapat bahwa hubungan yang panjang antara auditor dengan klien akan membuat auditor menjadi ahli dan sangat paham terhadap bisnis klien. Sehingga, mereka, auditor, lebih awas terhadap perilaku manajemen yang eksrem dan paham dengan pilihan-pilihan akuntansi yang ada di dalam bisnis itu. Artinya, mereka tidak menyetujui bahwa perilaku Arthur Andersen akan juga menjadi perilaku auditor yang lain.


Di hampir seluruh dunia saat ini, pemerintah telah membatasi masa hubungan auditor menjadi rata-rata lima tahun. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan (KMK 423/2002 dan KMK 359/2003), mengharuskan perusahaan mengganti auditor yang telah mendapat penugasan audit lima tahun berturut-turut. Perusahaan harus telah menggantinya setelah tahun buku 2003 jika sebelumnya belum mengganti auditor selama lima tahun (belakangan, tahun 2008 batasan itu dirubah menjadi enam tahun, KMK 17/2008). Konkretnya, jika sebuah perusahaan telah menunjuk satu auditor yang sama sejak tahun 1999, maka pada tahun 2004 mereka harus mengganti auditor dengan auditor yang lain. Aturan ini juga masih membolehkan auditor yang belum mengganti auditor sejak tahun 1998 untuk menggantinya pada tahun 2003 atau setelah enam tahun karena masih di masa peralihan dan mengantisipasi adanya kontrak yang telah ditandatangani untuk pengauditan atas tahun buku 2003. Artinya, setiap perusahaan yang telah diaudit selama lima/enam tahun berturut-turut oleh satu auditor, pada tahun 2004 telah harus diaudit oleh sebuah auditor yang lain.


Saya melakukan penelitian kecil dan menemukan bahwa rata-rata perusahaan Indonesia memiliki hubungan yang panjang dengan auditor mereka. PT BAT Indonesia, misalnya, hanya memiliki satu auditor yaitu kantor akuntan yang sama dengan yang berafiliasi ke PWC sekarang ini--walaupun berganti nama beberapa kali sejak tahun 1979 hingga 2004. Artinya, selama 25 tahun mereka tidak pernah mengganti auditor.


Contoh lain adalah PT Aqua Golden Mississippi. Tahun 1989-2001 (13 tahun) diaudit oleh KAP Utomo dan KAP Prasetio Utomo--kedua KAP ini adalah KAP yang sama. Tahun 2002 mereka pindah ke KAP Prasetio, Sarwoko, dan Sanjaya. KAP ini adalah kelanjutan dari KAP Prasetio Utomo yang bubar dan menggabungkan diri ke KAP Sarwoko dan Sanjaya. Sebagian orang berpendapat bahwa KAP yang baru ini (yang berafiliasi ke Ernst & Young) adalah kelanjutan dari KAP yang pertama (Arthur Andersen). Sehingga, bisa dikatakan bahwa selama 14 tahun PT Aqua diaudit oleh satu auditor. Penelitian biasanya menganggap EY adalah kelanjutan dari AA. Untuk jelasnya bisa juga dilihat KMK 359 di atas.


Sebelum kasus Enron/Arthur Andersen, penelitian tentang pergantian auditor lebih difokuskan pada pergantian auditor secara sukarela--tidak ada, atau jarang sekali tentang pergantian auditor yang wajib karena pengetahuan tentang alasan pengunduran diri secara sukarela lebih menarik daripada pengunduran diri secara wajib.


Auditor bisa mengundurkan diri secara sukarela dari penugasan karena berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk menghindari risiko litigasi yang melekat pada klien mereka. Auditor akan dengan sukarela mengundurkan diri dari klien jika klien memaksakan pilihan metoda akuntansi yang mereka sukai namun ditentang oleh auditor. Auditor yang mengundurkan diri karena alasan ini dianggap memiliki kebijakan yang konservatif.


Sementara itu, di lain sisi, klien mengganti auditor mereka juga dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah karena ingin mendapatkan auditor yang lebih efisien dan memiliki keahlian sesuai dengan bidang industri klien. Tidak jarang auditor dipilih karena klien tidak memiliki pandangan yang sama dengan auditor pendahulu tentang metoda akuntansi mana yang sesuai dan mana yang tidak melanggar GAAP.


Riset tentang kualitas audit ketika auditor klien memiliki hubungan jangka panjang dengan klien mereka menunjukkan bahwa masa penugasan yang panjang ternyata tidak menurunkan kualitas audit (Myers et al. 2003). Riset ini ditujukan untuk menolak pendapat bahwa auditor bisa kehilangan independensinya sejalan dengan makin panjangnya masa penugasan mereka kepada satu klien. Namun, mereka tidak mendukung ide bahwa keharusan pemanjangan masa tugas auditor akan menaikkan kualitas audit. Tapi, sebagai catatan, penelitian tersebut dilakukan atas hubungan auditor-klien sebelum kasus Enron/Andersen meledak. Seperti yang diketahui, kasus Enron/Andersen ini kemudian membuat regulator di berbagai negara kemudian membatasi hubungan auditor-klien.


Beberapa pertanyaan muncul dari sini.


Pertama, apakah perilaku auditor yang mengaudit klien pasca-SOX (atau KMK Menkeu tahun 2002 & 2003) akan berbeda dengan auditor klien pra-KMK atau pra-SOX? Jika berbeda, bagaimanakah perbedaan antar KAP?


Kedua, apakah auditor akan lebih konservatif mengaudit klien baru mereka? Ataukah mereka justru akan lebih longgar demi mempertahankan klien? KMK tahun 2008 membolehkan klien kembali lagi ke auditor lama setelah satu tahun. Jika memang klien kembali ke auditor lama mereka setelah satu tahun, apakah pergantian ini disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan auditor baru yang lebih konservatif? Ataukah karena auditor lama yang bisa menghasilkan laporan audit yang berkualitas? Apakah juga pergantian selama satu tahun tersebut tidak bisa disebut dengan "peminjaman" klien saja?






Sleman, Maret 2008


Label: , ,

for this post

 
Blogger Andara Says:

Mas Rahmat, saya ingin bertanya, lalu setelah adanya aturan pembatasan lama perikatan antara KAP dengan perusahaan tersebut, bagaimana syarat yang ditetapkan agar perusahaan dikatakan telah mengalami pergantian auditor?
Terimakasih

 

Leave a Reply