Keefektifan rotasi auditor

Setelah kasus Enron/Andersen terjadi, muncul sebuah undang-undang yang lebih dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act 2002. Di dalam undang-undang ini, jika diperhatikan dengan seksama, tidak pernah sama-sekali meminta perusahaan untuk mengganti kantor akuntan publik ("auditor") jika mereka telah berhubungan selama lima tahun berturut-turut. Yang ada hanyalah bahwa auditor harus mengganti partner jika satu partner telah memimpin audit pada satu klien selama lima tahun.


Di Indonesia, Menteri Keuangan justru mengambil langkah tegas agar pergantian auditor harus dilakukan jika auditor telah mengaudit satu klien selama lima tahun berturut-turut sedangkan partner harus berganti setelah tiga tahun. (Sebagai catatan, aturan ini diubah menjadi enam tahun untuk auditor dan tetap tiga tahun untuk partner.) Padahal saat ini perdebatan tentang masalah apakah pergantian atau rotasi auditor harus diatur, sehingga menjadi wajib, ataukah dibiarkan dilakukan secara sukarela saja masih terus berlansung.


Di satu pihak, profesi tidak menyukai adanya campur-tangan pemerintah (terutama di AS) dalam mengatur rotasi auditor. Biaya persiapan audit bagi auditor baru, biaya litigasi karena audit yang keliru pada klien baru, dan bukti bahwa kegagalan audit (audit failure) sering terjadi pada tahun-tahun awal penugasan auditor.


Di lain pihak, walau berusaha untuk independen, akademisi juga menunjukkan kecenderungan untuk tidak mendukung campur-tangan pemerintah merotasi auditor. Bukti-bukti banyak menunjukkan bahwa kualitas audit tidak buruk walau hubungan auditor-klien panjang. Kasus Andersen/Enron tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghukum seluruh auditor lain.


Pemerintah AS beragumen bahwa kualitas audit bisa ditingkatkan jika auditor diganti secara periodik. Salah satu tujuannya adalah untuk mempertahankan independensi auditor dengan memperkecil peluang ketergantungan auditor secara ekonomik kepada klien.


Argumen pemerintah AS ini sebenarnya masuk akal. Namun, masalahnya adalah ketiadaan riset yang mendukung argumen ini. Pertama, sejak diterbitkan hingga sekarang ini, satu-satunya rotasi-wajib adalah rotasi yang terjadi pada eks-klien Andersen. Kedua, rotasi tetap sukarela di AS, yang wajib hanyalah rotasi partner, sehingga sukar untuk memastikan bahwa kualitas audit jika aturan rotasi-wajib diberlakukan memang lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas audit jika rotasi hanya dilakukan secara sukarela.


Lucunya, pemerintah Indonesia sama-sekali tidak melakukan riset memadai--jika tidak ingin dikatakan tidak melakukannya sama-sekali--ketika menerbitkan aturan ini. Misalnya, pertama, tidak ada bukti berapa persentase klien yang telah diaudit selama lebih daripada lima tahun oleh satu auditor. Kedua, tidak ada bukti bahwa kualitas audit klien yang berhubungan dalam jangka panjang dengan satu auditor pra-KMK tersebut memang buruk sehingga perlu diminta mengganti auditor dengan auditor lain. Ketiga, pemerintah kemudian mengubah aturan menjadi enam tahun dan membolehkan pergantian kembali setelah satu tahun buku diaudit oleh auditor lain (KMK no. 17/2008). Aturan ini membuka peluang lebar-lebar bahwa akan ada auditor,terutama auditor-auditor kecil, menjadi tempat penitipan klien guna mengakali peraturan tersebut.


Dengan demikian keefektifan aturan ini belum terukur. Pertama, karena aturan ini tidak pernah didasarkan pada bukti empiris tentang kualitas audit pra-KMK. Kedua, aturan ini masih dalam masa peralihan karena sebagian perusahaan baru mulai mengganti auditor pada tahun 2004--dengan catatan telah diaudit selama lima tahun berturut-turut. Ketiga, riset di bidang ini sendiri belum pernah dilakukan. Karena Indonesia adalah sedikit negara yang mewajibkan pergantian auditor, maka riset ini akan bisa menyumbang pada literatur tentang bukti perbedaan kualitas audit di dua rezim aturan: sukarela vs. wajib.




Sleman, Maret 2008

By Rahmat Febrianto On Rabu, 11 Maret 2009 At 00.18

Pergantian auditor: Wajib atau sukarela?

Akademisi dan profesi berdebat tentang apakah auditor harus diganti setelah beberapa lama memberikan jasa audit kepada satu klien. Kasus Enron/Arthur Andersen diyakini berawal dari panjangnya hubungan antara auditor dengan klien. Sejak Enron berdiri, selama 16 Arthur Andersen telah menjadi auditor bagi Enron. Sepanjang masa itu mereka tidak hanya memberikan jasa audit umum, namun juga memberikan jasa non-audit. Hubungan Enron/Arthur Andersen ini kemudian terbukti membuat Arthur Andersen auditor menjadi tidak independen. Arthur Andersen diyakini membiarkan Enron memilih metoda akuntansi yang ekstrem karena kehilangan independensi mereka--sesuai dengan prediksi teori.


Mautz dan Sharaf (1961) percaya bahwa hubungan yang panjang bisa menyebabkan auditor memiliki kecederungan kehilangan independensinya. Auditor yang memiliki hubungan yang lama dengan klien diyakini akan membawa konsekuensi ketergantungan tinggi atau ikatan ekonomik yang kuat auditor terhadap klien. Semakin tinggi keterikatan auditor secara ekonomik dengan klien, makin tinggi kemungkinan auditor membiarkan klien untuk memilih metoda akuntansi yang ekstrem. Kekhawatiran ini memiliki bukti yang kuat yaitu Enron


Di lain sisi, ada yang berargumen sebaliknya. Ketika auditor pertama kali diminta mengaudit satu klien, yang pertama kali harus mereka lakukan adalah memahami lingkungan bisnis klien dan risiko audit klien. Bagi auditor yang sama-sekali buta dengan kedua masalah itu, maka biaya start-up menjadi tinggi sehingga bisa menaikkan fee audit. Kedua, penugasan yang pertama terbukti memiliki kemungkinan kekeliruan yang tinggi. Litigasi terhadap auditor umumnya terjadi pada tiga tahun pertama tugas pengauditan dan menunjukkan tren penurunan setelah masa penugasan bertambah. Risiko litigasi terhadap auditor 5(4) besar lebih tinggi dibandingkan dengan risiko pada KAP kecil karena, salah satunya, "kantong tebal" KAP besar tersebut. Oleh karena itu, PWC (2002) menentang sama-sekali pertukaran auditor secara wajib yang sedang diusahakan oleh legislator di AS melalui SOX saat itu. Mereka, dan pendukung yang lain, berpendapat bahwa hubungan yang panjang antara auditor dengan klien akan membuat auditor menjadi ahli dan sangat paham terhadap bisnis klien. Sehingga, mereka, auditor, lebih awas terhadap perilaku manajemen yang eksrem dan paham dengan pilihan-pilihan akuntansi yang ada di dalam bisnis itu. Artinya, mereka tidak menyetujui bahwa perilaku Arthur Andersen akan juga menjadi perilaku auditor yang lain.


Di hampir seluruh dunia saat ini, pemerintah telah membatasi masa hubungan auditor menjadi rata-rata lima tahun. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Keuangan (KMK 423/2002 dan KMK 359/2003), mengharuskan perusahaan mengganti auditor yang telah mendapat penugasan audit lima tahun berturut-turut. Perusahaan harus telah menggantinya setelah tahun buku 2003 jika sebelumnya belum mengganti auditor selama lima tahun (belakangan, tahun 2008 batasan itu dirubah menjadi enam tahun, KMK 17/2008). Konkretnya, jika sebuah perusahaan telah menunjuk satu auditor yang sama sejak tahun 1999, maka pada tahun 2004 mereka harus mengganti auditor dengan auditor yang lain. Aturan ini juga masih membolehkan auditor yang belum mengganti auditor sejak tahun 1998 untuk menggantinya pada tahun 2003 atau setelah enam tahun karena masih di masa peralihan dan mengantisipasi adanya kontrak yang telah ditandatangani untuk pengauditan atas tahun buku 2003. Artinya, setiap perusahaan yang telah diaudit selama lima/enam tahun berturut-turut oleh satu auditor, pada tahun 2004 telah harus diaudit oleh sebuah auditor yang lain.


Saya melakukan penelitian kecil dan menemukan bahwa rata-rata perusahaan Indonesia memiliki hubungan yang panjang dengan auditor mereka. PT BAT Indonesia, misalnya, hanya memiliki satu auditor yaitu kantor akuntan yang sama dengan yang berafiliasi ke PWC sekarang ini--walaupun berganti nama beberapa kali sejak tahun 1979 hingga 2004. Artinya, selama 25 tahun mereka tidak pernah mengganti auditor.


Contoh lain adalah PT Aqua Golden Mississippi. Tahun 1989-2001 (13 tahun) diaudit oleh KAP Utomo dan KAP Prasetio Utomo--kedua KAP ini adalah KAP yang sama. Tahun 2002 mereka pindah ke KAP Prasetio, Sarwoko, dan Sanjaya. KAP ini adalah kelanjutan dari KAP Prasetio Utomo yang bubar dan menggabungkan diri ke KAP Sarwoko dan Sanjaya. Sebagian orang berpendapat bahwa KAP yang baru ini (yang berafiliasi ke Ernst & Young) adalah kelanjutan dari KAP yang pertama (Arthur Andersen). Sehingga, bisa dikatakan bahwa selama 14 tahun PT Aqua diaudit oleh satu auditor. Penelitian biasanya menganggap EY adalah kelanjutan dari AA. Untuk jelasnya bisa juga dilihat KMK 359 di atas.


Sebelum kasus Enron/Arthur Andersen, penelitian tentang pergantian auditor lebih difokuskan pada pergantian auditor secara sukarela--tidak ada, atau jarang sekali tentang pergantian auditor yang wajib karena pengetahuan tentang alasan pengunduran diri secara sukarela lebih menarik daripada pengunduran diri secara wajib.


Auditor bisa mengundurkan diri secara sukarela dari penugasan karena berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk menghindari risiko litigasi yang melekat pada klien mereka. Auditor akan dengan sukarela mengundurkan diri dari klien jika klien memaksakan pilihan metoda akuntansi yang mereka sukai namun ditentang oleh auditor. Auditor yang mengundurkan diri karena alasan ini dianggap memiliki kebijakan yang konservatif.


Sementara itu, di lain sisi, klien mengganti auditor mereka juga dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah karena ingin mendapatkan auditor yang lebih efisien dan memiliki keahlian sesuai dengan bidang industri klien. Tidak jarang auditor dipilih karena klien tidak memiliki pandangan yang sama dengan auditor pendahulu tentang metoda akuntansi mana yang sesuai dan mana yang tidak melanggar GAAP.


Riset tentang kualitas audit ketika auditor klien memiliki hubungan jangka panjang dengan klien mereka menunjukkan bahwa masa penugasan yang panjang ternyata tidak menurunkan kualitas audit (Myers et al. 2003). Riset ini ditujukan untuk menolak pendapat bahwa auditor bisa kehilangan independensinya sejalan dengan makin panjangnya masa penugasan mereka kepada satu klien. Namun, mereka tidak mendukung ide bahwa keharusan pemanjangan masa tugas auditor akan menaikkan kualitas audit. Tapi, sebagai catatan, penelitian tersebut dilakukan atas hubungan auditor-klien sebelum kasus Enron/Andersen meledak. Seperti yang diketahui, kasus Enron/Andersen ini kemudian membuat regulator di berbagai negara kemudian membatasi hubungan auditor-klien.


Beberapa pertanyaan muncul dari sini.


Pertama, apakah perilaku auditor yang mengaudit klien pasca-SOX (atau KMK Menkeu tahun 2002 & 2003) akan berbeda dengan auditor klien pra-KMK atau pra-SOX? Jika berbeda, bagaimanakah perbedaan antar KAP?


Kedua, apakah auditor akan lebih konservatif mengaudit klien baru mereka? Ataukah mereka justru akan lebih longgar demi mempertahankan klien? KMK tahun 2008 membolehkan klien kembali lagi ke auditor lama setelah satu tahun. Jika memang klien kembali ke auditor lama mereka setelah satu tahun, apakah pergantian ini disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan auditor baru yang lebih konservatif? Ataukah karena auditor lama yang bisa menghasilkan laporan audit yang berkualitas? Apakah juga pergantian selama satu tahun tersebut tidak bisa disebut dengan "peminjaman" klien saja?






Sleman, Maret 2008


Label: , ,

By Rahmat Febrianto On Kamis, 05 Maret 2009 At 13.11